Kosmetik

Monday, April 20, 2009

Iman yang Memindahkan Gunung


Siapa pun sebenarnya tahu, bahwa kata-kata Yesus yang satu ini bukan untuk difahami secara harafiah. Sebab betapa sering, kita pun menggunakan kata ”gunung” tidak dalam artian aslinya, tetapi sebagai ”idiom”.

Misalnya, ”Siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden nanti, ia pasti diperhadapkan dengan se”gunung” persoalan”. Atau, ”Sampah di sudut jalan itu sudah meng”gunung”. Sungguh mengganggu”. Dan tak seorang pun bertanya, ”Lho, di mana gunungnya?” Atau, ”Apakah ia gunung berapi?”

Namun demikian, kadang-kadang, toh masih saja ada orang yang, entah mengapa, melakukan hal yang ”bodoh” itu. Ada seorang bercerita dengan naifnya, bahwa ia pernah berdoa semalam suntuk, agar ”bukit” yang menghalangi akses villanya ke jalan besar dihilangkan. Hasilnya? ”Ternyata tak terjadi apa-apa tuh. Tuhan Yesus bohong ”ngkali, ya pak?!”

YANG mengilhami tindakan orang itu adalah kata-kata Yesus dalam MATIUS 17:20. ”Sesunguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana - maka gunung ini akan pindah”.

Bagaimana memaknai ayat ini dengan benar? Berulang-ulang saya mendengar, bahkan dari orang-orang yang cukup terpelajar, yang menertawakan kata-kata Yesus tersebut. Dengan mulut mencibir mereka berujar, ”Sepanjang sejarah, belum pernah tuh saya mendengar ada gunung pindah, hanya gara-gara iman. Gunung meletus sih sering. Tapi pindah?!

Bahkan, berani bertaruh, Yesus sendiri pun pasti tak mampu melakukannya. Paling sedikit, tak sekali pun Ia pernah coba melakukannya. Masih kalah dengan David Copperfield yang, walau cuma tipuan mata, pernah coba menghilangkan Tugu MONAS. Tapi Yesus?!”

Saya kira, yang pertama-tama harus kita katakan adalah ini. Yaitu bahwa, benar sekali, Yesus berbicara mengenai sesuatu yang mustahil. Sesuatu yang dalam keadaan normal tidak mungkin dilakukan orang. Atau, menurut versi Asmuni, satu ”hil yang mustahal”.

Yesus memakai dua kiasan. Kiasan pertama adalah ”biji sesawi”. Anda pernah melihatnya? Saya belum. Tapi yang pasti ialah, ”biji sesawi” melambangkan sesuatu yang amat kecil. Gordon Powell menjelaskan, besarnya dapat dibandingkan dengan sebutir gula pasir. Kalau ”lubang”, pastilah ”lubang jarum”. Keciiiiil sekali. Karena itu, ia juga ”lemaaaah” sekali.

Sebaliknya dengan kiasan kedua. Yakni, ”gunung”. ”Gunung” melambangkan sesuatu yang besar, kokoh, tinggi, perkasa. Dalam bahasa Inggris, sesuatu yang ”overwhelming”. Artinya, sesuatu yang sangking hebat, dahsyat dan spektakulernya, membuat kita merasa begitu kecil, tak berdaya, dan tak berarti apa-apa di hadapannya. Cuma bisa terpana dan ternganga.

Tapi Yesus — secara mengejutkan dan tak disangka-sangka — mengatakan, ”iman” yang sekecil ”biji sesawi” itu sudah cukup untuk memindahkan sebuah ”gunung”. Dengan perkataan lain, Yesus ingin mengatakan bahwa ”iman” membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Making possible the impossible. Sebab ”tidak ada hal yang mustahil bagi orang yang percaya” (Markus 9:23)

PERNYATAAN ”tak ada yang hal mustahil bagi orang yang percaya”, sebenarnya tidak terlalu asing dan aneh di telinga kita. Tak ada yang ”sulit” di sini. Jadi, mengapa saya masukkan kata-kata Yesus tersebut ke dalam kategori ”sulit”? Menurut saya, yang sulit adalah bagaimana secara ”pas” memahami serta memaknainya. Bagi sebagian orang, pernyataan semacam ini sungguh tidak bisa diterima. Bukan saja karena ia tidak ilmiah, tapi terutama karena tidak sesuai dengan kenyataan. Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Reaksi kita yang benar, kata mereka, haruslah, ”Alangkah mustahilnya!”.

Sungguh mustahil — bagaimana pun besarnya ”percaya” seseorang —, untuk melawan hukum gaya berat, misalnya. Bila Anda melempar batu ke atas – tak peduli apakah Anda ”orang percaya” atau bukan – maka, tak dapat tidak, pada satu titik batu itu pasti akan meluncur ke bawah.

Atau ini. Tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya? Bagaimana dengan proses menjadi tua? Apakah benar ada orang — semata-mata lantaran ia adalah ”orang yang percaya” — lalu justru menjadi semakin muda saja dari hari ke hari? Dan bagaimana pula dengan kematian? Apakah ada orang yang mampu hidup selama-lamanya?

Bagi orang-orang moderen, yang justru mustahil adalah mengatakan, bahwa ”tidak ada yang mustahil”. Paling banter – ini yang lebih masuk akal — adalah mengatakan, bahwa di hadapan manusia ada kemungkinan yang tidak terbatas.

Bahwa medan kemungkinan terbuka lebar untuk terus dijelajahi. Dan karena itu, pantang kita mematok batasan-batasan, mengenai apa yang boleh dan apa tidak boleh dilakukan oleh suatu riset ilmiah.
Namun demikian, mengatakan bahwa ada kemungkinan-kemungkinan yang ”tak terbatas”, sebenarnya mengatakan bahwa yang ”tak terbatas” itu pada satu titik ada batasnya juga. Hanya saja, kita tidak mengetahui di mana batas itu berada.

JADI bagaimana Yesus dapat mengatakan, bahwa ”tak ada yang mustahil bagi orang yang percaya”? Apakah ini berarti Ia menolak kefanaan dan keterbatasan manusia, atau lebih khusus lagi ”orang percaya”? Jawab saya, tegas, adalah ”Tidak!”. Yesus mengakui – bahkan sangat memperhitungkan – kefanaan serta keterbatasan manusia. Menyadari kerawanan situasi dan kerentanan kondisinya. Khususnya situasi dan kondisi ”orang-orang percaya”.

Bila tidak begitu, tentu tak perlu Ia harus berulang-ulang mengatakan, agar para ”kawanan domba kecil” itu tak perlu berkecil hati! Bila tidak begitu, pastilah Ia tak akan begitu sengit melawan orang yang mempunyai rasa ”percaya diri” yang berlebih-lebihan, seperti yang misalnya terdapat pada para orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Dan bila tidak begitu, pastilah Ia tidak berkata kepada ”puteri-puteri Yerusalem” agar mereka meratapi diri mereka sendiri.

Yesus amat menyadari kelemahan serta keterbatasan manusia. Sebab itu untuk menyatakan kasih serta solidaritas-Nya, Ia mengidentifikasikan diri dengan kerentanan kita. ”Sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya” (Yesaya 53:4). Ini adalah karena manusia sendiri tak berdaya untuk memikul dan menanggungnya. Manusia bukanlah makhluk yang ”swasembada”.Namun demikian, di atas semua kenyataan faktual itu, masih ada realitas yang lain. Yaitu, kata Yesus, ”tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya”. Mengapa? Sebab sekali pun pada dirinya – an sich – orang percaya itu lemah dan terbatas, Allah – yang mereka percayai – sama sekali tidak lemah dan tidak terbatas! Dalam ”ketergantungan” kepada Allah itulah, terletak seluruh kekuatan kita! Dan dalam kesadaran akan ketidak-berdayaan kita itulah, terletak sumber daya kita!

TIDAK ada yang mustahil bagi orang yang percaya”. Karena itu ”mujizat” itu ada. Yang tidak mungkin itu mungkin.
Toh ini tidak berarti, bahwa Ia menyetujui tindakan sekelompok orang Kristen, yang mungkin sangking percayanya pada mujizat, lalu menolak menguburkan salah seorang kerabat mereka yang meninggal dunia. Jenazah yang bersangkutan didoakan berhari-hari, dengan keyakinan bahwa pada suatu ketika ia akan dibangkitkan kembali.

Ini juga tidak berarti saya menyetujui sikap sementara orang Kristen, yang tidak mau berobat ketika sakit, tidak mau mengungsi ketika banjir datang, dan tidak mau bekerja mencari nafkah, dengan alasan mau bergantung 100 persen pada mujizat Tuhan. Kalau pun ”iman”, ini adalah ”iman” yang ”kebablasan”.
Persoalan dengan orang-orang seperti itu – semakin banyak saja jumlah mereka dari hari ke hari — sama sekali bukanlah karena mereka percaya pada mujizat. Tapi semata-mata karena ke”ekstrim”an mereka. Mereka beranggapan bahwa yang paling utama dan penting dari ”iman” adalah ”mujizat”. Padahal Yesus sendiri mengatakan ”tidak”. Mereka berkeyakinan bahwa percaya pada mujizat meniadakan pertimbangan-pertimbangan rasional. Padahal Allah mengaruniakan otak dan akal budi kepada manusia untuk dimanfaatkan seoptimal-optimalnya.

Mereka menyangka bahwa ”mujizat” bisa terjadi setiap kali mereka menghendakinya. Padahal yang namanya ”mujizat” tentu sepenuhnya berada dalam wilayah kedaulatan Allah. Allah sendirilah yang menentukan, apakah Ia melakukan mujizat atau tidak. Apakah mujizat perlu atau tidak. Dan, kecuali dalam situasi yang sungguh luar biasa, Allah menghendaki semua berjalan normal. Artinya, semua berlangsung menurut hukum alam yang Ia tetapkan.

Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya”. Tapi justru karena kita percaya inilah, maka kita tidak pernah boleh berhenti berharap. Kita tidak pernah boleh berhenti berusaha dan mencoba. Mengapa? Sebab semuanya mungkin!

Bukan sebaliknya, malah pasif tidak mau berbuat serta berusaha apa-apa. Hanya mau menunggu mujizat datang. Salah! ***

Copyright © Sinar Harapan 2003

0 komentar:

 

Free Blog Templates

Powered By Blogger

Easy Blog Trick

Powered By Blogger

Blog Tutorial

Powered By Blogger

© 3 Columns Newspaper Copyright by d power 95 | Template by Blogger Templates | Blog Trick at Blog-HowToTricks